Rinduku Padamu Kampung Halamanku
Oleh :Irvanuddin
Medan, Sumatera Utara-. Menjalani
hidup di antara gedung-gedung bertingkat, bukanlah lagi hal
yang aneh. Setidaknya jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat pedalaman
atau pedesaan atau dibandingkan antara awal kemerdekaan, dengan masa kini yang
merupakan buah dari era reformasi.
Sudah begitu banyak putra-putri pedalaman yang akhirnya bisa
merasakan pendidikan sebagaimana layaknya masyarakat perkotaan. Dan cukup
banyak pula dari mereka yang karena perjuangan dan usahanya, berhasil mengubah
kehidupan dari orang kampong/desa menjadi orang kota atau mampu bersaing dengan
masyarakat kota.
Tetapi saya berpikiran lain.
Mengapa setiap saat selalu terasa rindu pada kampung
halaman?
Rindu pada kerimbunan hutan, kucuran air alam yang tak kunjung
putus, tiupan angin segar, juga kicauan burung yang terbang lepas di sela-sela
kanopi pepohonan dan tidak lupa selalu rindu dengan keluarga di kampong
halaman.
Apakah gedung pencakar langit metropolitan sudah
tidak menarik lagi?
Sepatu mengkilap dan pakaian rapi?
Bekerja di kantor, bertemu orang-orang modern, yang
jauh dari kesan “kotor-becek” karena pekerjaan di hutan?
Saya sendiri pun sulit menjawabnya.
Sebab, keinginan back to nature bukan perkara sepele. Akan
banyak orang yang membelalakkan mata keheranan: mengapa setelah susah payah
menempuh pendidikan di kota, mencoba bekerja di beberapa perusahaan modern, tiba-tiba
malah memilih pulang kampung?
Bukankah pulang kampung itu simbol kegagalan?
Atau menyiratkan “kemunduran” alias anti kemapanan?
Ah terserahlah!
Rupa-rupanya, tak terlalu baik juga jika terlalu memperdulikan
gunjingan orang lain.
Rindu saya pada alam dan hutan di kampung, mungkin pengobat
segala masalah ini.
Masalah sikut-menyikut di dunia perkotaan, persoalan
intrik-intrik internal di kantor, atau sekadar emosi yang sering memuncak
setiap saat. Pulang kampung, maka siaplah melarat, tanpa akses internet, tanpa
meeting bisnis, tanpa derap modernisasi.
Jelang pertengahan Juni
2012 besok, Insya Allah saya berkesempatan pulang kampung di Desa Sumber Fajar,
Kec. Seputih Banyak, Kab. Lampung Tengah.
Lumayan, saya bisa sedikit mengobati kerinduan dengan keluarga
yang ada di Lampung, serta rindu akan hutan, alam, halaman atau pekarangan
belakang yang penuh pohon buah-buahan, juga suasana kehidupan di kampung.
Merasakan kembali ritme kehidupan yang unik. Belum tengah malam,
suasana kampung sudah begitu sepi dan gelap. Bandingkan dengan derap kehidupan
perkotaan yang seakan tidak pernah tidur.
Dan gelap di perkampungan membuat tidur menjadi nyenyak, beralas
tikar pandan dan lantai papan. Segar dan sejuk yang mendamaikan. Dan pagi-pagi
sekali, kokok ayam yang merdu terdengar di belakang rumah, membangunkan kami
dari lelap.
Air sungai kecil di belakang rumah masih sangat jernih, masih
cukup terpelihara dan belum tercemar oleh aktivitas liar penambangan emas
tanpa izin di daerah perhuluan. Bambu masih lebat dan di sela-selanya masih
tumbuh subuh rebung sebagai bahan sayuran.
Juga pakis-pakis segar siap dipetik, dan jika beruntung,
ikan-ikan sungai masih bisa tertangkap oleh pancing, pukat, atau bubu
(perangkap ikan yang terbuat dari bambu). Tapi, memang semuanya sudah tidak
alami lagi, karena kampong saya sudah sebegitu tercemar oleh arus modernisasi.
Orang-orang serakah melakukan penambangan emas liar di perhuluan
sungai besar, sehingga airnya kini menjadi keruh. Tak hanya keruh, tapi kuat
dugaan cairan mercury atau air raksa limbah tambang ikut mencemari.
Sedikit bersyukur, karena sungai kecil di belakang rumah masih relatif
terjaga dan jernih airnya. Dan sejumlah hutan kecil masih bisa saya kunjungi,
untuk menikmati kerindangan pepohonan yang sanggup membuat suasana siang terasa
bagai sore, saking rindangnya kanopi.
Sebenarnya kampung saya sudah tidak sepenuhnya tradisional lagi, namun
ciri-ciri “pedalaman” masih senantiasa terasa. Ada kesan yang menyapa, ada
kerinduan yang sedikit terobati.
Tapi, benarkah, dan bisakah, saya sungguh-sungguh
pulang kampung dan kembali menata kehidupan yang baru bersama segala kerinduan
itu?
Dan jawabnya yaitu
setelah saya menjalani dan benar-benar pulang kampung ke Desa Sumber Fajar,
Kec. Seputih Bnayak, Kab. Lampung Tengah.
Di desa yang
masih terjaga kemurnianya, yang mungkin belum semuanya terjamah oleh
moderenisasi masyarakat kota.
Begitulah
kerinduan saya pada kampung saya……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar