Senin, 26 Maret 2012

Rinduku Padamu Kampung Halamanku


Rinduku Padamu Kampung Halamanku
Oleh :Irvanuddin

Medan, Sumatera Utara-. Menjalani hidup di antara gedung-gedung bertingkat, bukanlah lagi hal yang aneh. Setidaknya jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat pedalaman atau pedesaan atau dibandingkan antara awal kemerdekaan, dengan masa kini yang merupakan buah dari era reformasi.
Sudah begitu banyak putra-putri pedalaman yang akhirnya bisa merasakan pendidikan sebagaimana layaknya masyarakat perkotaan. Dan cukup banyak pula dari mereka yang karena perjuangan dan usahanya, berhasil mengubah kehidupan dari orang kampong/desa menjadi orang kota atau mampu bersaing dengan masyarakat kota.
Tetapi saya berpikiran lain.
Mengapa setiap saat selalu terasa rindu pada kampung halaman?
Rindu pada kerimbunan hutan, kucuran air alam yang tak kunjung putus, tiupan angin segar, juga kicauan burung yang terbang lepas di sela-sela kanopi pepohonan dan tidak lupa selalu rindu dengan keluarga di kampong halaman.
Apakah gedung pencakar langit metropolitan sudah tidak menarik lagi?
Sepatu mengkilap dan pakaian rapi?
Bekerja di kantor, bertemu orang-orang modern, yang jauh dari kesan “kotor-becek” karena pekerjaan di hutan?
Saya sendiri pun sulit menjawabnya.
Sebab, keinginan back to nature bukan perkara sepele. Akan banyak orang yang membelalakkan mata keheranan: mengapa setelah susah payah menempuh pendidikan di kota, mencoba bekerja di beberapa perusahaan modern, tiba-tiba malah memilih pulang kampung?
Bukankah pulang kampung itu simbol kegagalan?
Atau menyiratkan “kemunduran” alias anti kemapanan?
Ah terserahlah!
Rupa-rupanya, tak terlalu baik juga jika terlalu memperdulikan gunjingan orang lain.
Rindu saya pada alam dan hutan di kampung, mungkin pengobat segala masalah ini.
Masalah sikut-menyikut di dunia perkotaan, persoalan intrik-intrik internal di kantor, atau sekadar emosi yang sering memuncak setiap saat. Pulang kampung, maka siaplah melarat, tanpa akses internet, tanpa meeting bisnis, tanpa derap modernisasi.
Jelang pertengahan  Juni 2012 besok, Insya Allah saya berkesempatan pulang kampung di Desa Sumber Fajar, Kec. Seputih Banyak, Kab. Lampung Tengah.
Lumayan, saya bisa sedikit mengobati kerinduan dengan keluarga yang ada di Lampung, serta rindu akan hutan, alam, halaman atau pekarangan belakang yang penuh pohon buah-buahan, juga suasana kehidupan di kampung.
Merasakan kembali ritme kehidupan yang unik. Belum tengah malam, suasana kampung sudah begitu sepi dan gelap. Bandingkan dengan derap kehidupan perkotaan yang seakan tidak pernah tidur.
Dan gelap di perkampungan membuat tidur menjadi nyenyak, beralas tikar pandan dan lantai papan. Segar dan sejuk yang mendamaikan. Dan pagi-pagi sekali, kokok ayam yang merdu terdengar di belakang rumah, membangunkan kami dari lelap.
Air sungai kecil di belakang rumah masih sangat jernih, masih cukup terpelihara dan belum  tercemar oleh aktivitas liar penambangan emas tanpa izin di daerah perhuluan. Bambu masih lebat dan di sela-selanya masih tumbuh subuh rebung sebagai bahan sayuran.
Juga pakis-pakis segar siap dipetik, dan jika beruntung, ikan-ikan sungai masih bisa tertangkap oleh pancing, pukat, atau bubu (perangkap ikan yang terbuat dari bambu). Tapi, memang semuanya sudah tidak alami lagi, karena kampong saya sudah sebegitu tercemar oleh arus modernisasi.
Orang-orang serakah melakukan penambangan emas liar di perhuluan sungai besar, sehingga airnya kini menjadi keruh. Tak hanya keruh, tapi kuat dugaan cairan mercury atau air raksa limbah tambang ikut mencemari.
Sedikit bersyukur, karena sungai kecil di belakang rumah masih relatif terjaga dan jernih airnya. Dan sejumlah hutan kecil masih bisa saya kunjungi, untuk menikmati kerindangan pepohonan yang sanggup membuat suasana siang terasa bagai sore, saking rindangnya kanopi.
Sebenarnya kampung saya  sudah tidak sepenuhnya tradisional lagi, namun ciri-ciri “pedalaman” masih senantiasa terasa. Ada kesan yang menyapa, ada kerinduan yang sedikit terobati.
Tapi, benarkah, dan bisakah, saya sungguh-sungguh pulang kampung dan kembali menata kehidupan yang baru bersama segala kerinduan itu?
Dan jawabnya yaitu setelah saya menjalani dan benar-benar pulang kampung ke Desa Sumber Fajar, Kec. Seputih Bnayak, Kab. Lampung Tengah.
Di desa yang masih terjaga kemurnianya, yang mungkin belum semuanya terjamah oleh moderenisasi masyarakat kota.
Begitulah kerinduan saya pada kampung saya……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar