http://irvanuddin.blogspot.com |
Istilah
kapitalisme berarti kekuasaan ada di tangan kapital, sistem ekonomi bebas tanpa
batas yang didasarkan pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing dalam
batasan-batasan ini.
Terdapat tiga
unsur penting dalam kapitalisme:
1.
Pengutamaan
kepentingan pribadi (individualisme).
2.
Persaingan
(kompetisi) dan pengerukan kuntungan.
3.
Individualisme
penting dalam kapitalisme.
Sebab manusia
melihat diri mereka sendiri bukanlah sebagai bagian dari masyarakat, akan
tetapi sebagai “individu-individu” yang sendirian dan harus berjuang
sendirian untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
“Masyarakat
kapitalis” adalah arena di mana para individu
berkompetisi satu sama lain dalam kondisi yang sangat sengit dan kasar. Ini
adalah arena pertarungan sebagaimana yang dijelaskan Darwin, “di mana yang
kuat akan tetap hidup, sedangkan yang lemah dan tak berdaya akan terinjak dan
termusnahkan, dan tempat di mana kompetisi yang sengit mendominasi”.
Menurut cara berpikir
yang dijadikan dasar berpijak kapitalisme, setiap individu – dan ini dapat
berupa seseorang, sebuah perusahaan atau suatu bangsa – harus berjuang atau
berperang hanya untuk kemajuan dan kepentingannya sendiri.
“Yang paling
menentukan dalam peperangan ini adalah produksi”. Para produsen yang paling
unggul akan bertahan hidup, sedang yang lemah dan tidak mampu bersaing akan
tersingkir dan mati.
Inilah sistem
yang sedang berlaku, dan seolah tidak ada kepedulian bahwa mereka yang
tersingkirkan dalam perjuangan sengit ini, mereka yang terinjak-injak dan jatuh
ke jurang kemiskinan adalah manusia. Sebaliknya yang justru dianggap lebih
penting bukanlah manusia, akan tetapi pertumbuhan ekonomi, dan barang-barang,
yakni produk dari pertumbuhan ekonomi ini.
Dengan sebab
ini, mentalitas kapitalis tidak merasakan adanya tanggung jawab moral atau hati
nurani atas orang-orang yang terinjak di bawah kaki mereka, dan yang harus
hidup dengan berbagai kesulitan. Ini adalah Darwinisme yang diterapkan secara
menyeluruh pada masyarakat di bidang ekonomi. Dengan menyatakan perlunya
mendorong kompetisi di berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan memaklumkan
tidak perlunya memberikan kesempatan atau bantuan bagi masyarakat yang lemah di
sektor apapun, baik kesehatan maupun ekonomi, para perumus Darwinisme Sosial
terkemuka telah meletakkan dukungan “filosofis” dan “ilmiah” bagi
kapitalisme.
Misalnya,
menurut Tille, sosok terkemuka yang mewakili mentalitas kapitalis-Darwinis,
menyatakan bahwa adalah kesalahan besar untuk mencegah kemiskinan dengan
memberikan bantuan atau pertolongan bagi “kelas-kelas yang tersingkirkan”,
sebab ini berarti ikut campur dalam proses seleksi alam yang mendorong
berlangsungnya evolusi.
Dalam pandangan
Herbert Spencer, perumus terkemuka Darwiniwme Sosial, yang juga memasukkan
prinsip-prinsip Darwinisme pada kehidupan masyarakat, jika seseorang itu miskin
maka ini adalah kesalahannya; tak seorangpun berkewajiban menolong orang ini
untuk bangkit (dari kemiskinannya). Jika seseorang itu kaya, bahkan jika ia
telah mendapatkan kekayaannya melalui cara yang amoral, maka hal ini adalah
karena kecakapannya.
Oleh karena
itu, orang yang kaya akan tetap bertahan hidup, sedangkan yang miskin akan
tersingkirkan dan terhapuskan. Ini adalah pandangan yang telah hampir
mendominasi secara keseluruhan pada masyarakat jaman sekarang, dan merupakan
gambarang singkat tentang moralitas kapitalis-Darwinis.
Spencer, yang
mendukung dan mempertahankan moralitas ini, mneyelesaikan karyanya berjudul
Social Statistics pada tahun 1850, dan menolak semua sistem bantuan (untuk
masyarakat) yang diusulkan oleh negara, antisipasi bagi perlindungan terhadap
kesehatan, sekolah-sekolah negeri, dan vaksinasi wajib. Sebab menurut
Darwiniwme Sosial, tatanan masyarakat terbentuk dari prinsip bahwa yang kuat
akan tetap bertahan hidup. Pemberian bantuan dan pemberdayaan bagi masyarakat
lemah dan menjadikan mereka tetap bertahan hidup adalah pelanggaran terhadap
prinsip ini. Yang kaya tetap kaya dikarenakan mereka lebih mampu bertahan
hidup; sebagian bangsa menjajah bangsa lain, sebab bangsa-bangsa penjajah ini
lebih cerdas dan unggul. Spencer bersiteguh menerapkan doktrin ini: “Jika
mereka benar-benar layak untuk hidup, mereka akan hidup, dan sudah sebaiknya
jika mereka harus hidup. Jika mereka benar-benar layak untuk mati, mereka akan
mati, dan adalah paling baik jika mereka harus mati”.
Graham Sumner,
Professor Ilmu Politik dan Sosial di Universitas Yale, adalah juru bicara
Darwinisme Sosial di Amerika. Dalam salah satu tulisannya, ia merangkum pandangannya
tentang masyarakat manusia sebagai berikut:
“jika kita
mengangkat seseorang ke atas kita harus memiliki tumpuan, yakni titik reaksi.
Dalam masyarakat ini berarti bahwa untuk mengangkat seseorang ke atas maka kita
harus mendorong yang seseorang yang lain ke bawah”.
Richard Milner,
editor senior pada Majalah Natural History terbitan American Museum of Natural
History, New York, menulis:
Salah satu juru
bicara terkemuka Darwinisme Sosial, William Graham Sumner dari Princeton,
berpandangan bahwa kaum jutawan adalah individu-individu yang paling mampu
(bertahan hidup) dalam masyarakat dan berhak mendapatkan hak-hak istimewa.
Mereka “secara alamiah telah terseleksi di arena kompetisi”.
Sebagaimana
telah kita ketahui dari pernyataan-pernyataan ini, para Darwinis sosial
menggunakan teori evolusi Darwin sebagai pernyataan “ilmiah” bagi masyarakat
kapitalis.
Akibat dari hal
ini, masyarakat telah kehilangan ajaran-ajaran yang telah dibawa oleh agama
seperti saling tolong-menolong, kedermawanan, dan kerjasama; sebaliknya semua
ini telah tergantikan oleh sifat mementingkan diri sendiri, kikir dan
oportunisme.
Menurut Ross,”Negara
mengumpulkan orang-orang bisu dan tuli di tempat-tempat penampungannya, dan ras
bisu dan tuli sedang dalam proses pembentukan.” Ross menolak semua ini karena
dianggap mencegah berlangsungnya proses evolusi di alam.
Begitulah,
Darwinisme telah meletakkan landasan filosofis bagi semua sistem ekonomi
kapitalis di dunia dan sistem politik yang dibentuk oleh sistem ekonomi ini.
Tidak mengherankan
jika para pendukung utama Darwinisme Sosial adalah para pemilik kapital.
Kemunculan yang kuat dengan menginjak-injak yang lemah dan dengan meyakini
kebijakan ekonomi yang sangat jauh dari rasa belas kasih, tolong-menolong dan
cinta sesama tidak lagi menjadi sesuatu yang terkutuk. Sebab perilaku seperti
ini dianggap sebagai sejalan dengan “penjelasan ilmiah” dan “hukum alam”, yakni
evolusi.
Menurut Richard
Hofstadter, penulis buku Social Darwinism in American Thought, juragan
perkeretaapian, Chauncey Depew mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki
ketenaran, keberuntungan dan kekuasaan di kota New York mewakili mereka yang
paling kuat dan layak untuk tetap bertahan hidup, melalui kecakapan mereka yang
unggul, kemampuan berpikir ke depan dan kemampuan beradaptasi”. Baron kereta
api yang lain, James J. Hill, mengatakan bahwa “keberuntungan
perusahaan-perusahaan perkeretaapian ditentukan oleh hukum kemampuan bertahan
hidup bagi yang layak dan kuat”
Dalam
biografinya, Andrew Carnegie, seorang pemilik kapital utama di Amerika,
menyatakan kepercayaannya pada evolusi dengan perkataannya, “Saya telah
menemukan kebenaran evolusi.” (4) Dalam bagian lain ia menuliskan perkataan
ini:
(Hukum
kompetisi) itu ada di sini; kita tidak dapat menghindarinya; tak ada penjelasan
lain yang telah ditemukan untuk menggantikannya; dan kendatipun hukum ini
mungkin terkadang terasa berat bagi individu, namun inilah yang terbaik bagi
sekelompok ras, sebab hal ini menjamin kelangsungan bertahan hidup bagi yang
paling layak di semua aspek (kehidupan)”
Dalam artikel
Darwin’s Three Mistakes, ilmuwan evolusioner Kenneth J. Hsü, membongkar
pemikiran Darwinis kaum kapitalis Amerika, termasuk pernyataan Rockefeller yang
menyatakan bahwa, “pertumbuhan bisnis besar hanyalah sekedar [tentang
kemampuan] individu yang kuat [untuk] tetap bertahan hidup; [hal] tersebut
hanyalah cara kerja hukum alam.”
Sungguh sangat
menarik bahwa di Amerika, lembaga-lembaga seperti Rockefeller Foundation dan
the Carnegie Institution, yang didanai oleh para raja kapitalis seperti
Rockefeller dan Carnegie, memberikan bantuan dana yang cukup besar untuk
penelitian di bidang evolusi.
Sebagaimana
telah dipahami dari apa yang telah diuraikan, kapitalisme telah menyeret
manusia untuk menyembah hanya uang dan kekuatan yang bersumber dari uang.
Dengan menganggap segala ajaran agama dan etika sebagai sesuatu yang tidak
bermakna, masyarakat yang terpengaruh oleh gagasan evolusi mulai lebih
mementingkan peranan dan kekuatan yang bersifat materi, dan terseret menjauhi
perasaan seperti cinta, kasih sayang dan pengorbanan.
Moralitas
kapitalis ini telah menjadi sangat berpengaruh hampir di seluruh masyarakat
masa kini. Dengan dalih ini, kaum miskin, lemah dan tak berdaya tidak diberikan
bantuan serta perlindungan. Bahkan jika mereka terjangkiti penyakit parah dan
mematikan, mereka tidak mampu mendapatkan siapa saja yang dapat membantu
mengobati. Kaum papa diterlantarkan begitu saja dengan penyakitnya hingga
meninggal. Di banyak negara, berbagai kedzaliman dan tindakan tak manusiawi
seperti pemaksaan anak-anak secara kasar untuk bekerja dan perampasan hak-hak
sosial sangatlah sering dijumpai.
Saat ini,
alasan mengapa bangsa-bangsa seperti Ethiopia terjerembab dalam kekeringan dan
kelaparan adalah dominasi moral kapitalis ini. Kendatipun bantuan dari banyak
negara mampu untuk menyelamatkan orang-orang yang kelaparan ini, namun mereka
diterlantarkan kelaparan dan miskin begitu saja.
Begitu juga
bangsa Indonesia, yang mana saat ini para pemimpin sudah menganut paham
kapitalis bahkan bermoral kapitalis. Sehingga hal ini berdampak pada
kelangsungan hidup rakyat Indonesia, dalam hal ini khususnya rakyat kelas
menengah kebawah.
Sudah sangat
kental dan mendarah daging budaya-budaya kapitalis di negeri ini, baik dari
tingkat pusat maupun tingkat bawah. Sehingga apa yang dikatakan pepatah memang
jadi kenyataan “Yang kaya semakin Kaya, Dan Yang Miskin Semakin Miskin”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar